PENTINGNYA
SENI DALAM PSIKOLOGI BELAJAR
Oleh : De-Gaharu
Bagaimana
gambaran realitas anak bangsa di negeri kita ? Tentu saja tidak semua anak muda
melakukan tindakan yang meyimpang dari standar moral, banyak juga yang mengukir
prestasi. Namun, berbagai media informasi baik elektronik maupun cetak sering
menyiarkan berita negatif anak bangsa kita. Apa yang terjadi dengan
generasi-generasi bangsa ini ? seperti yang diungkapan oleh Kak Hendri dalam
bukunya (Pendidikan Karakter Berbasis Dongeng, 2013:10) “Dimana peran dan
pengaruh pendidikan sebagai jalan untuk menciptakan bangsa yang lebih
bermartabat ? apa hal ini membuktikan bahwa pendidikan kita belum berhasil
dalam mencetak generasi bangsa yang cerdas, kreatif, beriman, dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa ?. Bukankah ketika di sekolah mereka sudah menerima
pelajaran tentang moral, pengetahuan umum, dan pengembangan diri ? lantas mengapa
tidak bisa mereka terapkan di lingkungan sehari-hari ?. Ini menjadi PR bagi para
pendidik bahkan seharusnya semua warga Indonesia yang ingin pendidikan di
negara kita jauh lebih baik lagi dari sebelumnya.
Terkadang orang
tua selalu mengucapkan kata-kata “kamu tidak pintar, mengapa tidak ada
perkembangan, apakah pelajaran itu terlalu sulit ?” bahkan mirisnya pendidik pun
ada yang pernah mengucapkan kalimat “Kalian ini bagaimana ? saya yang tidak
bisa mengajar, atau kalian yang memang bodoh ?” sejumlah kalimat itu ditujukan kepada
peserta didik. Poin penting yang menjadi perhatian kita adalah bagaimana agar
ilmu-ilmu yang sudah diajarkan di sekolah bisa diterapkan dengan baik setelah
mereka lulus dan hidup di lingkungan bermasyarakat. Dan tidak baik selalu
menyalahkan anak-anak atau peserta didik, karena itu akan berpengaruh pada
psikologis mereka. Seperti misi pendidikan karakter yang hendaknya memiliki
cara dan teknik yang tepat agar peserta didik merasa nyaman dan semangat untuk
menjadikan diri mereka lebih baik.
Kehidupan yang
membentuk kepribadian pendidikan peserta didik tidak lepas dari ruang lingkup
internal tempat pendidikan yaitu psikologi belajar yang meliputi hubungan
belajar, memori, dan pengetahuan. Sedangkan eksternal yaitu lingkungan
keluarga, dan masyarakat. Salah satu atau bahkan semua dari dua ruang lingkup
tersebut mungkin ada yang berjalan tidak seimbang sehingga berbagai pelajaran
atau ilmu yang diterima di sekolah tidak bisa diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Inilah yang harus diselediki, cara mengajar dan mendidik seperti apa
yang peserta didik butuhkan untuk mengubah karakter atau kepribadian mereka.
Oleh karena itu, kita harus memainkan peran “seni”, seni yang dimaksud disini
adalah kreativitas. Sangat penting bagi pendidik untuk meningkatkan kreativitas
dalam mengajar agar peserta didik merasa semangat, tidak jenuh dan mudah
memahami pelajaran. Pendidik juga harus berusaha menumbuhkan sikap kreatif
dalam diri peserta didik, memberikan pemahaman bahwa semua ilmu yang mereka
dapatkan pasti berguna suatu saat nanti. Sebuah pola pikir yang salah dan terus
menggerogoti otak peserta didik yaitu menganggap hanya satu pelajaran yang
penting dimana itu adalah minat dan bakatnya, dan merasa tidak membutuhkan
pelajaran lain. Selanjutnya bantu mereka untuk menentukan jam biologis dan gaya
belajar.
Masalah penting
yang perlu dibenahi dari pendidikan di Indonesia adalah kasus menyontek yang sudah
meracuni akar budaya pendidikan kita. Karena sudah berakar sama seperti korupsi
maka sulit untuk dimusnahkan, semakin kreatif cara kita untuk menghindari
kecurangan dalam ujian maka semakin kreatif pula si pelaku nyontek berpikir
aksinya, zaman semakin canggih memudahkan mereka mengakses informasi dari mana
saja. Tetapi kita bisa meminimalisirkan dengan mempengaruhi pola berpikir
mereka. caranya adalah dengan memberikan gambaran kerugian dari sikap tidak
terpuji tersebut.
Kenapa otak bisa mengirimkan sinyal
nyontek kepada Indera penglihatan, pendengaran, mulut, anggota gerak tubuh ?. Sebelum
membahas itu, ada pertanyaan penting yang harus dijawab : Apa yang kalian
peroleh dari nyontek ? nilai mencapai standar, kedua mendapat nilai paling
tinggi. Mengapa kita mau menyontek ? memang tidak ada yang aneh dengan
menyontek, dalam dunia bisnis pun pasti terjadi proses pencontekkan, jika tidak
ada proses tersebut maka tak ada namanya pesaing (kompetitor) dan inovasi.
Dalam penulisan makalah, jurnal, bahkan skripsi tentu ada proses pencontekkan /
copy-paste, bedanya adalah setelah copy paste kita wajib menuliskan sumbernya.
Siapa dalang dalam proses menyontek ? dalangnya adalah setting-an otak. Ternyata bukan hanya komputer yang bisa salah setting, tapi otak juga bisa. Sebagian
besar, tujuan kita sekolah atau kuliah adalah lulus dengan nilai paling tinggi.
Siapa yang tidak mau ? jelas semua mau, karena membuat orang tua bangga,
masalahnya jika tujuan kita hanya High
score maka berakibat fatal di dunia kerja, bisa saja teori tidak sejalan
dengan praktek. Nah, karena dari awal tujuan kita adalah nilai tinggi, maka
segala cara kita gunakan dari positif hingga negatif seperti belajar individu,
belajar kelompok, terakhir menyontek. Menurut penulis, orang yang menyontek
adalah orang yang tidak menghargai pengorbanan yang sudah Ia lakukan selama ini.
Buat apa masuk sekolah atau kuliah setiap hari ? bayar uang kuliah ? menghafal
materi pelajaran walaupun dengan SKS (Sistem Kebut Semalam) untuk persiapan jika
tidak ada celah untuk menyontek. Ketika hari ujian tiba, dan mendapatkan celah
atau kesempatan, maka berkreatifitaslah si pencontek, lantas bagaimana dengan
semua pengorbanan tadi ? kita abaikan ? tidak kita hargai ? bagaimana orang
lain mau menghargai diri kita, kalau kita tidak menghargai diri sendiri. Jadi
untuk meminimalisirkan_karena berubah menjadi lebih baik itu sulit_ atau bahkan
untuk mencegah tindakan tersebut, ada baiknya kita semua mensetting ulang otak
bahwa tujuan sekolah atau kuliah adalah memperkaya ilmu, yang nantinya bisa
diimplementasikan, dan bisa menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan
sehari-hari. Karena nilai perjuangan dan rasa bangga menerima hasil ujian
dengan usaha sendiri akan jauh berbeda dengan tindakan menyontek tadi. Jangan
targetkan diri menjadi yang pertama, tapi jadilah yang terbaik.
Masalah
kedua adalah “persaingan prestasi.” Ada yang salah dengan kata-kata tersebut.
Mengapa ada kata persaingan ? bagaimana jika diganti dan ditambahkan imbuhan dengan “Bersama-sama berprestasi” ?. Kata
bersaing juga merupakan akar dari pemikiran untuk bahkan harus mendapatkan
nilai tinggi karena mempunyai keinginan untuk menjadi nomor satu atau paling
unggul. Kita sekolah atau kuliah sama-sama menimba ilmu, sama-sama belajar,
bukan saling bersaing. Karena racun ‘bersaing’ yang sudah mengkontaminasi otak,
juga bisa mengkontaminasikan hati, sehingga timbul keegoisan. Intinya, kita harus bersama-sama lulus
menjadi mahasiswa/i yang tidak hanya baik dengan ‘kertasnya’, karena nilai adalah bonus, yang terpenting seberapa
mampu kita menerapkan ilmu-ilmu tersebut di dunia kerja.
Yang kedua dari
psikologi belajar adalah memori. Informasi pengetahuan dan keterampilan semuanya
tersimpan dalam memori otak. Dengan seni kita akan mengetahui bagaimana mengolah
memori jangka panjang atau ingatan dalam waktu lama. Penggunaaan memori jangka panjang
melibatkan peran otak kanan, tetapi bukan berarti otak kiri tidak penting, yang
perlu digaris bawahi adalah menyeimbangkan fungsi kedua otak tersebut. seperti
bahasan menyontek diatas berawal dari gaya menghafal saat belajar, setiap orang
memang punya kapasitas ingatan yang berbeda-beda, tetapi jika kita terus-menerus
menggunakan gaya menghafal maka akan menggunakan fungsi otak kiri yang
berlebihan. Otak kiri akan mengalami kelelahan, semangat belajar kita menurun,
dan karena otak kiri tempat short time
memory maka kita akan banyak melupakan materi pelajaran yang dihafalkan
sebelumnya. Peran pendidik disini adalah kreatif melatih gaya belajar yang
menyenangkan melibatkan tampilan gambar, cerita, gerakan,
aktivitas kelas, diskusi, menggunakan musik, pemutaran film, dan lain-lain.
Sehingga otak kanan dan kiri berjalan seimbang. Kita akan ambil contoh yaitu
dalam pelajaran Akuntansi. Akuntansi adalah pelajaran yang membutuhkan
keterampilan kompleks dari otak kiri mulai dari ketelitian, matematika, logika,
daya ingat yang tajam, dan kerapian. Akan sangat membosankan bagi peserta didik
jika pendidik menggunakan metode ceramah dalam mengajar, karena Akuntansi
dituntut untuk selalu praktek atau berlatih. Namun jika pendidik hanya
memberikan soal latihan saja tanpa membimbing, bahkan tanpa memberikan landasan
dasar berpikir dan berusaha membuat peserta didik tertarik dengan apa yang Ia
ajarkan hanya akan menjadi beban di pikiran mereka. Hal yang utama dalam
mengajar adalah tanamkan rasa senang dan gembira peserta didik, agar mereka
merasa nyaman. Bagaimana jika memasukkan unsur permainan atau games saat mengajar ? contoh satu judul
bab pelajaran Akuntansi yaitu pengolahan Kas Kecil. Beberapa siswa akan diajak
untuk memerankan jabatan pemegang uang fisik kas kecil, pemegang catatan kas
kecil, kasir, dan kepala keuangan. Nah, siswa yang lain berperan sebagai
karyawan yang ingin membeli perlengkapan kantor dan meminta uang dari kas
kecil, maka pendidik akan mengarahkan dan menjelaskan tata caranya. Disela-sela
cara meminta uang kas kecil pada pemegang kas, pendidik bisa mengajarkan etika
profesi saat memasuki ruangan divisi lain, kejujuran pencatatan, dan cara
berkomunikasi yang baik. Bermain sambil belajar mampu membuat suasana kelas
menjadi lebih santai, fokus, dan menyenangkan. Belajar bisa dilakukan dimana
saja dan kapanpun, oleh karena itu alangkah baiknya belajar tidak hanya
dilakukan di dalam ruangan saja (indoor)
tetapi juga di luar ruangan (outdoor),
terutama pelajaran yang berkaitan dengan pengolahan empat potensi manusia yang
bersumber dari olah hati dan olah raga / kinestetika.
Seringkah kita
melihat perilaku anak ketika Ia melewati sebuah pot yang berisi tanaman
berbunga, maka Ia akan langsung memetik bunga atau merobek daun dari tanaman
tersebut ?. Dalam tujuan pengolahan ke empat potensi desain induk pendidikan
karakter menyebutkan bahwa tujuan mengolah karakter yang bersumber dari olah
hati adalah memiliki sikap menghargai lingkungan. Arti seni yang berperan
disini semakin luas yaitu unsur ‘keindahan’. Orang tua dan pendidik seharusnya
bisa memberikan pelajaran baik moral, pengembangan diri, dan pengetahuan,
dengan cara halus yaitu memasukkan unsur keindahan agar apa yang sudah mereka
dapatkan mampu masuk ke dalam ingatan atau memori jangka panjang. Kita bisa memberi pengajaran atau teguran
dengan cara halus seperti “Tanaman itu juga ingin hidup sama seperti kamu, jadi
alangkah baiknya tidak memetik daun atau bunganya, karena Ia tidak bisa
bernafas jika daunnya kamu petik. Tuhan juga tidak suka melihat manusia yang
merusak makhluk hidup lainnya, karena Tuhan suka keindahan” Nah ketika anak
memberikan respon balik bertanya “mengapa jika daunnya dipetik, ia akan mati ?”
inilah saat yang tepat untuk menjelaskan pelajaran sains dan agama dari segi
memperhalus kata. Bukankah kalimat itu lebih baik daripada mengucapkan “Kamu
tidak boleh rusak tanaman itu. Sekali lagi kamu melakukannya, kamu akan Ibu
hukum.”
Yang terakhir
dalam rangkaian psikologi belajar adalah pengetahuan. Seni dengan hubungannya
terhadap ilmu pengetahuan yakni sikap kreatif untuk menciptakan hal baru yang
bermanfaat bagi kehidupan diri sendiri dan orang lain.
Jadi, untuk
mencetak generasi unggul, perlu adanya pembangunan dan pertahanan karakter
serta memahami pentingnya seni dalam psikologi belajar yang melibatkan peran
aktif dari semua pihak, baik orang tua, pendidik, maupun peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Syah, Muhibbin. 2012. Psikologi
Belajar. PT Rajagrafindo Persada : Jakarta.
Juhana, Hendri. 2013. Pendidikan
Karakter Berbasis Dongeng. Simbiosa Rekatama Media : Bandung.
Siswanti, H.B. 2013. Pengantar
Manajemen. PT Bumi Aksara : Jakarta.
Hergenhahn, B.R. dan Matthew H. Olson. 2010. Theories
Of Learning. Kencana Prenada Media Group : Jakarta.
Lickona, Thomas. 2012. Educating For Character : How Our School Can Teach
Respect and Responsibillity. PT Bumi Aksara :
Jakarta
Comments
Post a Comment