Pagi yang tenang selalu
membawa cerita baru pada setiap lembaran hari. Cerita yang mungkin tak
pernah dipahami manusia manapun, karena cerita itu terbenam di antara
samudra ketidaksadaran, yang menjalar ke sebuah pikiran.
Nuara
tengah duduk di dekat jendela menunggu matahari yang sebentar lagi
menyapa ruang kerja mungilnya. Ruang kerja inilah yang membentuk
arketipe-arketipe tentang dirinya. Nuara
kemudian melanjutkan memotong-memotong lilin yang sudah Ia siapkan
sebelum fajar menyingsing. Di sudut ruangan panci panas siap melelehkan
lilin-lilin itu. Cerita hari ini dimulai ! Bentuk apa yang kau inginkan,
teman ? ya kau yang tengah duduk disana mendengarkanku. Bagaimana jika
bentuk kepalamu sendiri ? Nuara adalah pematung yang andal, tenang
saja.
Saat kerja
begini, Nuara paling senang mendengarkan alunan musik klasik Tristesse
dari phonograph kesayangannya. Musik kesedihan yang sangat
menggembirakan baginya.
"Apa kau mau berdansa denganku? kenakanlah topeng ini."
Selain
patung dan lilin, topeng juga salah satu benda kesayangan Nuara, karena
topeng mampu menceritakan siapa mereka yang terbujur kaku itu.
Ternyata
musik yang menyenangkan tak mampu mengusik hati Nuara untuk tersenyum,
semenjak tubuh yang terbujur kaku itu tak lagi menghiburnya. Seketika
tubuh Nuara melemah, kedua kakinya tak mampu menopang beban tubuhnya. Ia
jatuh dan menampel panci berisi lilin yang telah meleleh. Nuara selalu
jatuh setelah melihat mereka yang dulu ia kenal.
Nuara
seorang gadis indigo. Kini tubuhnya telah bercampur dengan lilin yang
telah meleleh dan mulai mendingin. Ia bangkit, duduk dan melihat dengan
seksama setiap inci dari teman yang kini ada di hadapannya. Dengan
kesederhanaan dan ketidak sempurnaannya, ia mencari roh dari teman itu.
Ia tak pernah melihat dunia luar untuk mencarinya. Ia mendekat ke teman
yang terbujur di lantai ruang kerjanya dengan menyeret tubuhnya yang
masih tak mampu berdiri. Diperiksa seluruh bagian tubuh teman yang belum
sempurna. Ia mencari celah, bagian mana yang harus ia selesaikan selain
membuat kepala.
Mayat-mayat yang
dikoleksinya menatap tajam kearahnya. Meminta agar Nuara menyelesaikan
patung terakhir yang kini tak lagi tersenyum padanya. Nuara diam,
berpikir.
"Apa
yang kalian lihat, teman? apakah kalian benar-benar ingin aku
menyelesaikannya?" Nuara tak bisa, ia mencoba bangkit perlahan dan
menyapu lelehan lilin yang melekat di tubuhnya.
Nuara
duduk kembali di sisi jendela, matahari telah meninggi. Kini ia harus
menelan sarapan rutinnya. Darah hewan dan manusia yang telah ia racik
sendiri di panci kedua. Dituangnya racikan darah manusia dan hewan itu
ke dalam teko. Kemudian mengisi segelas kaca bening. Ia menyesap dengan
penuh kenikmatan. Darah yang masih segar, yang mengalir dari mayat
keseribu. Mayat yang menjadi temannya selama ini. Nuara tersenyum, kini
ia melanjutkan pembuatan kepala untuk teman yang telah terbujur kaku,
sebelum ia melilitkan senyum ke seribu satu pada dirinya.
...........................................................................................................................................
"Terimakasih teman, kini aku tersenyum kembali."
Jika kau saat ini sedang sedih, bergabunglah bersama kami, bersenang-senang dengan lilin keabadian ini.
Comments
Post a Comment