KITA NGGAK HARUS MONOKROM
Jalani hidup apa adanya, ada banyak warna untuk kita pilih
Oke,
kali ini aku mau cerita tentang kisah hidup aku yang nggak banyak orang tahu,
karena memang belum pernah aku ceritakan di mana pun secara lengkap meskipun
aku Social Media Addict, jadi ini adalah perdana. Kata orang, kalau dengar nama
‘Dega’ ya itu nama panggilan aku, selalu identik dengan warna-warni, nyeni
banget, nyentrik, aneh, terlalu sok sibuk, suka belajar, dan sebagainya yang
kedengaran hectic banget hahaha.
Ini yang aku rasain sebagai diri aku, aku suka
warna-warni itu benar, art enthusiast banget, suka hal-hal yang membuat ceria
that’s why aku suka warna kuning seperti bunga matahari. Bukan unsur kebetulan,
jadi memang ini adalah jalan yang aku suka, jalan hidup apa adanya, tanpa syarat ketentuan dari orang lain.
Maksud dari kalimat kita nggak harus monokrom di sini adalah monokrom itu
berarti seragam, dan aku bukan tipe orang yang suka sama, karena menurut aku
ada banyak warna yang bisa kita pilih di hidup ini, yang berarti adalah jalan
untuk mengekspresikan diri kita tanpa
kepura-puraaan, #TanpaSyaratKetentuan harus begini harus begitu. Tahu nggak
sih? Ada hal lucu yang terjadi sejak aku SMP. Jadi dulu, setiap kenaikan
semester, aku selalu nargetin diri jadi orang lain yang menurut aku menarik.
Misal semester 1 jadi orang yang kutu buku banget, semester 2 jadi anak yang
suka musik metal, begitu seterusnya jadi isi social media aku jaman sekolah itu
berubah-ubah nanti ada foto yang imut banget, ada foto yang tomboy banget yang
walaupun aku si Gemini yang punya banyak kepribadian tapi sebenarnya nggak bisa
jadi orang lain juga. Bayangkan how fake my life was! Sampai akhirnya ada satu
titik aku lelah menjadi orang lain, termasuk juga urusan hobi.
Setelah berusaha memahami diri
sendiri, aku akhirnya berani keluar dari zona nyaman. Aku memutuskan untuk
menjadi seniman. Dan menjalani sebagaimana diri aku yang berwarna-warni, si
pecinta warna kuning merah banget karena kedua filosofi warna itu moodbooster
buat aku. Nah lalu, ada nggak sih tantangan ketika sudah keluar dari zona
nyaman? Tentu saja! Aku suka melakukan banyak hal di bidang seni. Setiap hari
kerja di bidang seni, malamnya harus mengerjakan pesanan artwork orang, kuliah
juga, lalu akhir pekan latihan teater, atau main ke galeri. Aku suka hal-hal
baru, makanya kemana aja aku selalu bawa buku catatan, motret hal-hal penting,
dan mencari tahu di google makna suatu hal saat itu secara langsung. Selain itu
aku hobi berselancar di media sosial. Karena ‘kehectican’ yang orang sebut ke
diri aku tadi, mereka sering kali protes “ngapain sih capek-capek melakukan hal
ini itu, weekend itu waktunya istirahat, ngapain sih belajar mulu bla bla bla
dan sebagainya.” Bahkan dulu teman aku pernah bilang, “kamu nggak akan bisa
menjalankan seni dan sastra secara bersamaan, nggak akan mampu.” Dari statement
itu aku bilang ke diri aku “kamu pasti bisa, be bold, be the perfect version of
you.”
Jadi sebenarnya ketika orang
mengomentari hidup kita, nggak semuanya mereka benar, kita nggak harus menjadi
sama seperti yang lain, nggak harus monochrome.
Dulu, waktu awal-awal aku mengenakan baju berwarna merah kuning ijo,
orang-orang selalu bilang “ih norak!”
“emang ya seniman itu seleranya aneh-aneh” cuitan-cuitan seperti itu pernah
buat aku down karena merasa berbeda
dan aneh. Tapi semakin kesini aku mulai terbiasa, Mereka nggak tahu ketiga
warna itu adalah warna budaya tanah kelahiranku, dan aku bangga. Kita nggak
harus mengganti baju kita ketika orang mengkritik style kita, kita nggak harus
mengubah makeup kita kalau kita merasa nyaman dan yakin. Keren versi orang lain
itu sama seperti keindahan pada lukisan, hanya sebuah kesepakatan bersama antar
manusia, sedangkan keren versi kita adalah melibatkan diri kita yang tanpa tedeng aling-aling. And I’m so
proud to be an artist! Lalu setelah menjadi seniman, ada nggak sih
cuitan-cuitan yang bikin kita stress ngadepinnya? Tentu! Seperti style karya
kita, kadang ada aja yang memandang sebelah mata. Yang harus kita ingat adalah
setiap karya punya penggemar masing-masing, so nggak perlu minder.
Lalu, berkaitan dengan habit aku
yang suka aktif di media sosial, sampai ada teman aku pernah berkata “Ngapain
sih hidup kamu main media sosial mulu. Media sosial itu racun.” Oke jadi
begini, media sosial itu banyak banget manfaatnya, dari sana aku bisa dapat
client yang pesan ilustrasi aku, bisa tahu info pagelaran seni, workshop,
teman-teman baru, pokoknya banyak deh. Jadi kehabisan kuota atau nggak ada
sinyal bagi aku adalah nelangsa tingkat dewa. Makanya dari pertama kali punya
HP aku nggak pernah ganti kartu lain, iya dong aku setia IM3Ooredoo. Handphone
aku dan segala isinya itu ibarat sahabat, menemani browsing tugas kuliah,
mencari inspirasi karya seni, menyimpan potongan-potongan naskah novel, bahkan
buat karya seperti fast editing dan menemani saat-saat pertama sms dengan
gebetan jaman SMP cieee! Dan pulsa SOSnya sangat menolong banget. Gak kebayang
sih kalau nggak ada layanan pulsa SOS. Jadi ceritanya waktu itu aku abis pulang
nonton teater, terus kuota aku habis, pulsa juga habis, nggak bisa ngabarin
orang tua di luar kota, lalu mikir besoknya pergi kerja gimana ya order ojek
online, panik deh. Terus ingat pulsa SOS IM3 Ooredoo, aku gunakan buat telpon
teman yang jual kuota. Cinta deh pokoknya sama IM3 Ooredoo! Sebuah produk
telekomunikasi yang simpel. Aku bebas berkarya dimana aja kapan aja, googling
sepuasnya tanpa ada batasan harus kuota tengah malam, kuota subuh berkat
dukungan freedom internet dari @IM3Ooredoo. Setia
menggunakan IM3 Ooredoo dari SMP juga mengajarkanku untuk setia mengejar mimpi,
setia menjadi versi terbaik dari diri aku dengan jalani hidup apa adanya, tanpa
syarat ketentuan, tanpa kepura-puraan, tanpa overthinking. Aku Dega
dan IM3 Ooredoo mempersembahkan ini untuk kita semua.
Comments
Post a Comment